Tuesday, December 8, 2009

Pak Londo

Orang-orang biasa menyebut saya Pak Londo. Saya memang keturunan Belanda. Tapi yakinlah cuma kakek saya saja yang penjajah. Beberapa teman Java saya bertanya, "Eh Londo, kamu baik tapi tetap saja kamu keturunan penjajah!". Saya menjawab, "itu harga yang pantas agar bangsa Indonesia mendapatkan ilmu dan keberanian hidup." Teman saya tersenyum kecut. Tipikal orang Indonesia yang mudah menyerah.

Rumah saya ada di jalan Bodjong, kota Semarang. Generasi sekarang mengenalnya dengan Jl. Pemuda. Generasi yang bodoh menurut saya.

Rumah saya ada di pinggir jalan Bodjong. Kalau mau makan saya biasanya ke Rumah Makan Oen. Rumah saya besar, dan tentu saja dengan arsitetektur gaya Belanda. Sekarang Kota Lama menjadi daerah kumuh. Banjir. Hanya jadi simbol untuk pasangan muda sebelum menikah.

Saya bahagia tinggal di rumah saya,bahkan ketika orang tua saya dan keluarga saya meninggal dunia saya tetap memilih tinggal di rumah ini. Banyak tetangga menjual rumah mereka untuk dijadikan toko dan mendapatkan uang banyak. Tetapi saya tidak. Saya lebih suka rumah ini tetap menjadi rumah saya. Terakhir ketika saya menderita gejala penyakit jantung,ada yang ingin membeli rumah saya untuk dijadikan bisnis keuangan. Saya tetap tidak mau. Saya tidak mau arsitektur rumah saya berubah. Seperti yang terjadi pada Kota Lama, Lawang Sewu, SMA 1 dan tentu saja, terowongan bawah tanah yang ada di di bawah kota ini. Anda pernah lihat kota Amsterdam? Kota kelahiran saya. Semarang adalah miniatur Amsterdam. Kakek buyut saya yang merancang kota ini. Tapi itu dulu.

Beberapa tahun terakhir memang saya banyak di rumah. Tetangga-tetangga saya sudah pergi entah kemana. Tetangga-tetangga saya adalah generasi bodoh. Anak-anak muda. Berkali-kali mereka mencoba menggusur rumah saya. Tiap kali saya marah mereka tidak berhenti, saya sudah mengusir mereka namun mereka tidak perduli.

Mereka tidak tahu. Pribumi-pribumi ini terlalu malas untuk mengetahui rahasia sejarah Benteng Vijfhoek. Benteng Segi Lima. Rumah saya memang di Bodjong, tidak di dalam kawasan Benteng Vijfhoek. Rumah saya terletak 3 Km dari salah satu jalan masuk benteng. Meskipun bersisi lima, Benteng Vijfhoek hanya memiliki empat jalan masuk. Pertama, De Wester, melewati Gouvernementsbrug, Jembatan Berok. Ini yang terdekat dari rumah saya. Kedua, De Zuider, melewati Djoernatan lalu belok ke utara Kerkstraat, Jl. Suari. Ketiga, OosterPoort, melewati Hereenstaat, Jl. Letjen. Suprapto. Keempat, Poort, melewati Noorderwalstraat, Jl. Merak. Sisi kelima, Bastion de Zee, sisi terkecil yang tidak diberi jalan masuk, karena memang dikelilingi sungai.
Moyang saya yang merancang Benteng Vijfhoek. Moyang saya yang membangun kota ini. Moyang saya yang membuat kota ini tampak lebih berbudaya. Sesuatu hal yang tidak dimiliki pribumi. Kota ini adalah kota untuk para bangsawan dari Belanda. Ketika itu tahun 1742, semua bangsawan tinggal berdampingan dengan pribumi. Pribumi Java dan Pribumi China. Pribumi Java yang berasio rendah memang bisa dikuasai oleh bangsa kami. Tidak untuk pribumi China. Mereka memang keturunan bangsa yang hebat. Mereka tidak mau kota yang mereka diami dahulu dirampas oleh bangsa kami. Pelan tapi pasti perniagaan di kota ini kami rebut. Pribumi China tidak terima. Bangsa pedagang yang hampir “menjajah” di tiap negara di dunia merasa lahan mereka direbut. Ironis. Justru kaum pribumi tidak berbuat apa-apa. Justru di zaman sekarang kaum pribumi Java sering berlaku tidak respek pada pribumi China, kaum yang berjuang melawan bangsa kami. Tentu saja meski dengan alas an perebutan kekuasan. Ada satu dua dari pribumi Java yang ikut memberontak. Namun kami diamkan dengan suap.
China memang bangsa yang istimewa. Semangat, ulet dan strategi. Itu tiga hal yang membuat bangsa mereka maju. Tiga hal itu yang membuat bangsa mereka ada dimana-mana. Hal ketiga yang membuat para pasukan pengawal bangsawan kewalahan, jika tidak maudikatakan hampir kalah. Strategi. Bangsa China memang terkenal dengan strategi perang.
Pemerintah Belanda di Hindia Belanda saat itu memanggil seorang arsitek. Boris De Zeuw. Moyang saya. Awal mula keluarga De Zeuw berada di tanah Java. Alasan kenapa saya berada di Java. Dibuatlah Benteng Vijfhoek dengan bantuan tenaga kuli dari pribumi Java. Sementara pemberontakan masih terjadi. Bangsa China memang ahli strategi, tapi kami memiliki jumlah pasukan dan amunisi yang banyak. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh pribumi China. Senjata utama kami tentu saja Benteng Vijfhoek. Benteng besar yang mengelilingi kota satelit bangsawan Eropa. Benteng yang tingginya sampai 3 meter. Benteng yang memiliki tebal 1 meter. Cukup kuat untuk meredam perlawan pribumi China. Sampai pada akhirnya mereka menyerah dan membuat Surat Perdamaian dan Perjanjian dengan kami. Pewakilan mereka datang ke Benteng Vijfhoek dan menandatangani Surat Perjanjian dan Perdamaian di Nederlandshe Indische Kerk. Kelak pribumi Java menyebutnya Gereja Blenduk. Kami menyebutnya perdamaian, pribumi China menyebutnya peraturan perniagaan. Peraturan yang membuat pribumi China rugi untuk berdagang di pelabuhan.
Jangan sebut bangsa China jika tidak ulet. Kalah dijalur perniagaan pelabuhan. Mereka membidik ke pasr lebih rendah. Pasar pribumi Java. Mereka memang tidak bisa masuk ke Benteng Vijfhoek sembarangan. Namun di sekeliling Benteng Vijfhoek mereka berdagang. Lihat saja daerah Pecinan di sekitar Benteng Vijfhoek yangbertahan hingga sekarang. Mereka membuat budaya baru. Sesuatu yang bangsa kami hargai. Apa yang pribumi Java lakukan? Menjadi budak pribumi China. Perbudakan adalah suatu budaya yang disukai oleh bangsa besar. Perbudakan menjadi alat barter antara bangsa penjajah dan bangsa pribumi. Bangsa penjajah mendapat lahan, hasil bumi, emas dan keuntungan. Bangsa pribumi mendapatkan budaya, semangat, tujuan hidup dan ilmu.

Benteng Vijfhoek semakin maju ketika kantor pusat VOC dipindah ke kota ini dari kota yang biasa pribumi sebut Jepara. Perkembangan pesat terjadi pada abad 18 dan 19. Terkutuk untuk Murdocks, penemu sebuah mesin yang bernama kereta api dari Inggris. Sebuah mesin yang mengakibatkan Benteng Vijfhoek dirubuhkan. Suasana kota yang damai, majunya perniagaan dan pembuatan tempat berjalan mesin itu adalah alasan-alasan perubuhan Benteng Vijfhoek. Mulai runtuhnya sebuah budaya. Memang yang dihancurkan adalah Benteng Vijfhoek. Memang cuma sebuah benteng. Namun tanpa benteng itu perlahan banyak pribumi yang bisa leluasa masuk ke kawasan ini. Dari Benteng Vijfhoek menjadi Kota Lama. Dari arsitektur berseni menjadi kawasan antah berantah. Apalagi semenjak kependudukan pasukan cebol bermuka sipit berprilaku kasar penyembah matahari datang mencoba merebut Kota Lama. Sejak itu Kota Lama tidak berpenghuni. Sejak itu Benteng Vijfhoek benar-benar runtuh.

****

Para pengusir datang lagi. Mereka kini tampak lebih sopan. Mereka berpakaian rapi seperti orang Timur Tengah. Mereka memakai topi seperti yang dipakai oleh Paus. Tidak yang ini beda, lebih besar. Entah kenapa ketika pemimpin mereka berbicara, saya merasa nyaman. Mereka adalah kaum Muslimin. Penganut ajaran Muhammad. Islam. Agama dari Arab. Saya pernah membaca di Kitab Injil, akan ada utusan setelah Jesus, bernama Ahmad atau siapalah. Siapa yang percaya. Saya lebih percaya pada ilmu pengetahuan. Bukan Nabi yang memiliki nama Arab. Saya lebih percaya kita berasal dari ras monyet daripada seorang bernama Adam yang memilih memakan buah terlarang. Yang jelas mereka sangat sopan terhadap saya. Meski saya tetap tidak ingin pergi dari rumah ini. Yang aneh kenapa mereka mengirim seorang pemuka agama.

****

Para pengusir tidak pernah datang lagi. Hari-hari saya lalui antara lukisan, teras dan membaca. Keluarga saya meninggal dalam sebuah kecelakan mobil. Teman saya, Dr. Karjadi, seorang Dokter pribumi Java yang cerdas, mencoba menyelamatkan nyawa keluarga saya. Karjadi sendiri tewas diracun sebelum sempat menyelamatkan keluarga saya. Malam itu saya kehilangan keluarga dan sahabat saya. Saya sendiri selamat dari kecelakaan mobil tersebut. Meski kaki saya menjadi pincang. Saya cinta kota ini. Alasan saya tetap berada di rumah ini.

****

Semakin ramai saja pekarangan rumah saya. Banyak mobil. Banyak pribumi berpakaian rapi. Saya menjadi semakin tidak nyaman. Saya harus berbuat sesuatu.

****

Sore ini saya memutuskan untuk membersihkan gudang rumah saya. Tongkat ini membantu saya berjalan menuju gudang di belakang rumah saya. Rumah saya cukup unik. Ada lorong di sebelah timur rumah saya menuju pekarangan. Di atas lorong adalah lantai dua rumah saya yang terhubung dengan rumah utama. Di dalam pekarangan sendiri ada rumah kedua saya.

Gudang saya cukup luas. Di dalamnya terdapat banyak gambar dan lukisan. Saya seorang arsitek seperti moyang saya, Boris. Saya tidak tertarik menjadi tentara seperti teman-teman saya. Seorang arsitek akan menjadi pelukis.

Mata saya tertuju pada tumpukan berkas-berkas di ujung sudut gudang. Agak susah untuk kaki saya yang pincang menghindari tumpukan-tumpukan barang-barang untuk menuju letak berkas-berkas. Saya mengambil kertas paling atas. Riwayat kesehatan saya. Tertulis patah tulang kaki kanan, penyakit jantung dan meninggal akibat serangan jantung.

****

Saya sudah mati. Lalu saya ini apa? Semacam Hantu Flying Dutchman? Saya baca kembali catatan riwayat kesehatan saya. Saya meninggal pada 16 Juli 1960, pada saat saya terkena serangan jantung, yang terakhir. Saya ingat semua ini.
Pantas saja banyak orang yang tidak menghiraukan saya. Pantas saja banyak orang yang ingin mendiami rumah saya. Pantas saja hanya pemuka agama itu yang bisa berkomunikasi dengan saya. Pantas saja pekarangan rumah saya ramai. Pantas saja, ternyata rumah saya telah menjadi sebuah lembaga keuangan. Pantas saja banyak pribumi berpakaian rapi takut ketika saya marah-marah.

Saya ingat. Saya ingat hari terakhir saya. Saya bertemu pria besar tampan berpakaian putih. Wajahnya bersinar. Dia berkata ingin menjemput saya dan akan terasa sakit sebentar ketika roh saya dicabut. Rasanya sakit sekali. Tidak bisa manusia bayangkan. Perlahan saya meninggalkan tubuh saya. Saya berkata saya tidak ingin meninggalkan rumah ini. Pria itu menjawab bahwa roh saya akan tetap dibawa, jika saya menginginkan maka ‘semangat’ saya bisa tetap disini. Saya adalah ’semangat’ itu.


****

Saya bertanya pada pria itu siapakah namanya. Namanya Izrail. Nama Arab. Bukan nama Latin, Arya atau Yahudi.

****

(oleh : Firdza Radiany)

1 comment:

Insan Yan Mafahir said...

Wah bagus tulisannya, izin copy yah, tapi gak lupa saya sertakan nama penulis sama link blognya...